Mengembangkan “Sains Islam”, Mungkinkah? Sains dalam Islam
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Q.S. Az-Zumar: 9
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Q.S. Al-Mujadalah: 11
“Tinta ulama lebih suci dari darah syuhada.”
Beberapa dalil di atas menjadi dasar bahwa pentingnya posisi ilmu pengetahuan dan ulama’ dalam Islam. Para ulama’ pada zaman keemasan Islam telah menjadikan dalil-dalil tentang keutamaan ilmu dan ulama’ sebagai sesuatu hal yang sangat prioritas. Mereka memandang bahwa ilmu pengetahuan adalah sumber kebenaran. Itulah sebabnya Al-Kindi menulis bahwa, “’tujuan kita harus mengumpulkan kebenaran dari manapun datangnya, karena tidak ada prioritas yang lebih tinggi bagi pencari kebenaran selain kebenaran.”
Namun, landasan ini masih menjadi perdebatan di kalangan para ulama’. Beberapa ulama’ berpendapat bahwa dalil-dalil yang menggunakan term seperti “pengetahuan”, “ilmu”, bahkan “sains” dipahami dalam begitu banyak tafsir yang berbeda sehingga memiliki makna yang luas. Karena itu, seseorang harus berjuang untuk membatasi makna dan penggunaannya.
- Sains Islam
Ungkapan sains Islam pertama kali diciptakan dan diperkenalkan oleh Seyyed Hossein Nasr. Dia adalah pencetus sains Islam dari segala aspek akademik: mahasiswa muslim pertama yang mengambil jurusan fisika di Massachusetts Institute of Technology University, mahasiswa pertama yang mendirikan asosiasi mahasiswa muslim di Harvard University, dan pemikir muslim pertama yang menegaskan bahwa sains dalam pandangan dunia Islam, memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan pandangan dunia Barat. Nasr menyadari bahwa sebagian besar pemikir muslim tidak memahami akar persoalan sains Islam. Nasr sendiri membagi para pemikir muslim menjadi dua kelompok utama. Pertama, kaum modernis, yang pada dasarnya adalah pembela (setidaknya dalam hal ini), mereka menganggap bahwa sains diperlukan—karena memberi kekuatan pada suatu bangsa—dan menemukan tidak ada yang salah dengan sains Barat. Kedua, para ahli etika, yang menolak penyakit etis sains Barat dan menyerukan Islamisasi sains.
Namun, para pemikir muslim memiliki pandangan yang berbeda-beda berkaitan dengan makna sains Islam, dan apakah seseorang bisa mengembangkan sains Islam. Karena itu, Guessoum akan mencoba memfokuskan tulisan ini dengan menjelaskan upaya para pemikir muslim yang mengembangkan sains Islam, namun tentu dengan perspektif yang berbeda-beda.
- Mazhab Nasr (Filsafat dan Sains Abadi)
Filsafat alam dan manusia yang dikemukakan oleh Nasr adalah filsafat aliran tradisional, di mana “filsafat abadi” (sophia perennis) adalah intinya. Dalam versi Islam, filsafat ini disebut tauhid. Filsafat ini menegaskan prinsip-prinsip utama, antara lain: pertama, keberadaan adalah satu, dan semua fenomena adalah refleksi parsial darinya. Kedua, dunia fisik (fenomena) bukanlah satu-satunya realitas atau keberadaan. Terdapat dunia lain (spiritual) yang tidak dapat diakses oleh akal atau panca indera, melainkan dengan cara lain (seperti tariqah), sedangkan pengetahuan/ sains Barat sama sekali menyangkal realitas kedua ini.
Ketiga, manusia adalah contoh utama dari keberadaan dua realitas ini, yang berbeda tetapi tidak berdiri sendiri. Bagian materi manusia tunduk pada hukum alam, sedangkan bagian spiritual dan intelektual (jiwa manusia) bebas dari batasan itu, dengan demikian dapat memiliki kehidupannya sendiri. Dan keempat, manusia dapat menggunakan dimensi spiritual dan intelektualnya untuk mencari hakikat kebenaran yang melampaui metode sains biasa.
Nasr menyimpulkan bahwa salah satu konsekuensi dari prinsip-prinsip di atas adalah bahwa pengetahuan terbagi menjadi dua macam, yaitu: ilmu pasti (yaqin) yang mutlak dan sempurna, yang sebenarnya datang langsung dari Tuhan, seperti yang diwahyukan dalam Al-Qur’an, dan ilmu dugaan (zann), yang diperoleh dengan metode rasional. Ia menyatakan bahwa pikiran manusia mampu melakukan keduanya, sebab terdiri dari dua komponen, yaitu pikiran parsial/ rasional (‘aql juz’i) serta pikiran global dan intuitif (‘aql kulli).
Karena itu, Nasr mencoba untuk menjaga kedua dimensi tersebut agar tetap aktif, yaitu dengan berusaha untuk mengintegrasikan fitur rasional dan sains empiris dengan aspek intuitif berupa keyakinan agama. Baginya, sains hanya bisa mewakili satu bagian dari pengetahuan manusia, dan itu harus diintegrasikan ke dalam “tingkat pengetahuan yang lebih tinggi”.
- Al-Faruqi dan Islamisasi Ilmu
Dalam pemikiran Al-Faruqi tentang perkembangan konsep Islamisasi ilmu, ia memperhatikan hal mendasar selama bertahun-tahun, bahwa persoalan sains saat ini pada hakekatnya terletak pada sistem pendidikan, di mana sifat pengetahuan yang telah ditanamkan kepada umat Islam selama beberapa generasi adalah cacat, karena pengetahuan (Barat) pada dasarnya sekuler dan dengan demikian bertentangan dengan budaya, masyarakat dan peradaban Muslim.
Karena itu Al-Faruqi mencoba mengembangkan program Islamisasi ilmu. Dalam pandangannya, program Islamisasi dimulai dari dua observasi, yaitu kegagalan para pembaru muslim modern untuk menghasilkan kebangkitan peradaban yang konkret dan kegagalan para kritikus pasca-modernis terhadap peradaban Barat untuk menjauhkan dunia modern dari berbagai kecenderungannya yang membawa malapetaka, khususnya penghancuran agama, dan hilangnya makna dan tujuan.
Taha Jabir al-‘Alwani, salah satu pewaris Al-Faruqi menambahkan, Islamisasi ilmu adalah upaya untuk memperkenalkan kembali Al-Qur’an yang agung ke Dunia, sebagai satu-satunya kitab yang mampu mengantarkan, tidak hanya umat Islam, tetapi juga seluruh umat manusia. Hanya Al-Qur’an Al-Karim yang memiliki konsepsi alternatif, universal, epistemologis dan sistematis.
- Sardar dan Mazhab Ijmali
Dalam merumuskan filsafat sains Islamnya, Sardar dan kelompoknya (yang dikenal sebagai kaum Ijmalis) melandaskan diri pada dua gagasan mendasar: pertama, sains modern cacat dan berbahaya, baik dalam basis metafisik maupun penerapan teknologinya (lingkungan, etika, dan lain-lain). Kedua, Islam melahirkan ajaran yang kuat untuk mengejar ilmu pengetahuan, tetapi menganggap etika, nilai-nilai moral dan harmoni antara manusia dan alam sebagai syarat hubungan sebab akibat. Karena itu, Sardar menganggap sains sebagai bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial.
Sardar juga menjelaskan bahwa kita perlu mengembangkan mekanisme di mana sains Islam, seperti yang ditentukan oleh gagasan ilmu, dipindahkan ke pusat kehidupan budaya, sosial dan ekonomi muslim. Dengan kata lain, sains Islam, sebagai pengejaran pengetahuan objektif dan sebagai ibadah, menempati tempat yang sama dalam urusan sehari-hari seorang muslim seperti shalat, puasa, dan bentuk ibadah lainnya. Munawar Anees, salah satu anggota terkemuka dari kelompok Ijmali, menggambarkan apa yang tidak bisa menjadi sains Islam versi mereka, antara lain: sains yang diislamkan, reduktif, anakronistik, dominan secara metodologis, terfragmentasi, tidak adil, picik, tidak relevan secara sosial, bukailistik, dan kultus.
Untuk mencapai hal ini, Sardar dan Ijmalis mengidentifikasi beberapa kerangka kerja di mana analisis ilmiah harus dilakukan, yaitu: pertama, tauhid; sesuatu yang diproyeksikan sebagai kesatuan yang mendasari alam. Kedua, khilafah (perwalian manusia atas sumber daya bumi), yang kemudian memaksa manusia untuk memiliki rasa tanggung jawab dan akuntabilitas atas tindakannya yang berkaitan dengan alam. Ketiga, ibadah; hal yang dapat mengambil banyak bentuk, termasuk penemuan, kontemplasi dan pengembangan lebih lanjut dari ciptaan Tuhan. Keempat, pengetahuan; sesuatu yang merupakan sumber sekaligus hasil ibadah, dipahami sebagai pencarian aktif akan Tuhan. Kelima, halal; sesuatu yang merupakan sumber sekaligus hasil ibadah, dipahami sebagai pencarian aktif akan Tuhan. Keenam, ‘adl (keadilan) vs zhulm (kezaliman), kedua nilai yang berlawanan ini juga merupakan standar penilaian penerapan ilmu yang diperoleh dari ibadah di atas.
- Abdus Salam dan Hoodbhoy: Sains itu Objektif dan Universal
Muhammad Abdus Salam, pemenang hadiah nobel dalam bidang fisika, percaya bahwa sains itu bersifat universal, dan hanya penerapannya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor budaya. Dia tidak percaya ada masalah metafisik serius yang melekat dalam sains modern. Salam memulai dengan Al-Qur’an dan menggarisbawahi seruan mendesak yang dilakukan kepada orang-orang beriman untuk mengamati, merenungkan, merefleksikan, memahami dan belajar dari alam. Al-Qur’an terdiri dari ratusan ayat yang memberikan pelajaran kepada orang-orang beriman untuk mempelajari alam dengan menggunakan anugerah paling berharga yang diberikan kepada manusia, yaitu akal.
Salam menunjukkan bahwa Al-Qur’an dengan semangat kajian dan refleksi rasional Islam adalah sumber perkembangan peradaban yang luar biasa itu, termasuk berkembangnya ilmu-ilmu di zaman keemasan Islam. Salam dan kelompoknya tidak merasa bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat akan menghancurkan tradisi budaya mereka sendiri. Salam mengutip sebuah hadis untuk mendukung filosofinya, “Hikmah/ilmu adalah pencarian orang beriman, di mana pun itu ditemukan, dia berhak mendapatkannya.”
Bagi Salam, tidak mungkin ada ilmu Islam tentang dunia fisik, dan upaya untuk menciptakannya merupakan usaha yang sia-sia. Dia selanjutnya memberikan tiga argumen untuk mendukung pandangan ini, antara lain: pertama, ilmu Islam tidak ada, semua upaya untuk membuat ilmu Islam telah gagal. Kedua, menentukan seperangkat prinsip moral dan teologis. Contoh yang dia berikan di sini adalah bahwa Salam merupakan seorang beriman dan Weinberg seorang ateis yang diakui, namun mereka membangun teori yang sama dalam fisika partikel. Dan ketiga, tidak pernah ada, dan masih belum ada, definisi ilmu Islam yang dapat diterima oleh semua umat Islam.
Pada akhirnya, kita telah melihat bahwa Islam memberikan penekanan besar pada konsep ilmu, tetapi kita juga menemukan bahwa ia mengandung dan memiliki arti banyak makna, yang menyebabkan para pemikir muslim kontemporer mengambil posisi yang saling berbeda sehubungan dengan sains pada umumnya (sifat, tempat dan peran dalam masyarakat). Oleh karena itu, seseorang tidak perlu terkejut dan heran menemukan begitu banyak perbedaan pendapat dan perselisihan tentang apa yang bisa disebut sebagai sains Islam. (Zulfikar)
- Hubungan Islam dan Perancang Cerdas: Perspektif Nidhal Guessoum
Selama beberapa abad terakhir, pandangan bahwa alam semesta tidak memiliki tujuan telah mendominasi dunia ilmu pengetahuan dan filsafat. Pandangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua fenomena alam dapat dijelaskan secara naturalistik-saintifik. Terutama dengan munculnya teori evolusi oleh Charles Darwin, keyakinan ini semakin menguat, menyiratkan bahwa alam semesta dapat menjelaskan dirinya sendiri tanpa perlu campur tangan metafisika atau entitas ilahi.
Tentu saja, teori evolusi menggoyahkan keyakinan paling mendasar bagi umat beragama, termasuk umat Islam. Beberapa pemikir Muslim mencoba menantang teori evolusi dengan argumen Perancangan Cerdas (Intelligent Design/ID). Argumen Perancangan Cerdas ini menyatakan bahwa kompleksitas alam semesta menunjukkan adanya entitas cerdas yang merancangnya. Karena itu, mengkritik Perancangan Cerdas bisa dianggap sebagai serangan langsung terhadap pandangan Ilahi.
Pertentangan di atas sering kali mengarah pada pemahaman yang menyederhanakan bahwa evolusi identik dengan ateisme, dan konsep Perancangan Cerdas identik dengan agama. Hal ini menyebabkan umat Islam, bahkan para sarjana, terjebak pada pola pikir binarian: menerima evolusi berarti menolak gagasan tentang Tuhan, dan menerima Perancangan Cerdas berarti menolak fakta ilmiah. Pemahaman seperti ini sering kali disebabkan oleh upaya penyederhanaan berlebihan dan generalisasi yang tidak akurat.
Dalam esai singkat ini, saya akan paparkan argumentasi Perancang Cerdas baik dari Kristen Barat maupun tradisi Islam secara singkat, kemudian memasukkan pandangan Nidhal Guessoum dalam buku Islam’s Quantum Question. Buku yang terbit pada tahun 2011 (versi Bahasa Perancis 2009) ini menjelaskan tentang hubungan Islam dan argumentasi Perancang Cerdas (Islam and Design) dengan begitu rapi.
- Argumentasi Perancang Cerdas
Dalam sejarah pemikiran tentang Tuhan, dua tokoh di Barat yang sangat menonjol dengan teori Perancang Cerdas, yaitu Thomas Aquinas dan William Paley. Aquinas memperkenalkan lima argumen eksistensi Tuhan yang dikenal sebagai Lima Argumen: gerak yang digerakkan, hubungan sebab-akibat, adanya sesuatu dari ketiadaan, sesuatu yang sempurna, dan eksistensi yang berkemampuan mengarahkan sampai ke tujuan.
Thomas Aquinas memandang bahwa ketidakberaturan dalam alam semesta harus memiliki sebuah penyebab yang lebih tinggi. Menurutnya, gerak yang terjadi dalam alam semesta memerlukan “penggerak pertama” yang tak tergerak. Selain itu, hubungan sebab-akibat dalam alam semesta menunjukkan keberadaan suatu akibat harus ada sebabnya yang lebih tinggi. Pemikirannya ini mengarahkan pada konsep adanya Tuhan sebagai Perancang Cerdas di balik segala hal yang ada.
William Paley, pada tahun 1805, menggunakan analogi jam rumit untuk menyampaikan argumen Perancangan Cerdasnya. Jika jam rumit harus dibuat oleh seorang perancang cerdas, begitu juga semesta yang kompleks ini harus memiliki perancang yang lebih tinggi. Dalam pandangan Paley, kompleksitas dan presisi penyetelan alam semesta tidak bisa dijelaskan hanya dengan argumen kebetulan semata. Oleh karena itu, dia menyimpulkan bahwa adanya Perancang Cerdas yang telah mengatur dan merancang alam semesta dengan tujuan khusus untuk mendukung kehidupan manusia.
Menurut Guessoum, baik Thomas Aquinas maupun William Paley digolongkan sebagai tokoh yang menggunakan argumen “fine-tuning.” Mereka tidak setuju dengan pandangan bahwa keberadaan alam semesta dan kehidupan ini semata-mata karena kebetulan belaka. Bagi mereka, argumen kebetulan ini tidak mampu menjelaskan presisi penyetelan yang kompleks dalam alam semesta. Sebaliknya, mereka melihat implikasi adanya Perancang Cerdas yang bertanggung jawab atas harmoni dan ketelitian yang ada dalam alam semesta.
Guessoum juga memperlihatkan gagasan Perancang Cerdas dari kalangan umat Islam. Ia mengawalinya dari Al-Kindi yang menekankan bahwa keberadaan fenomena alam yang teratur dan harmonis tidak mungkin muncul secara kebetulan semata. Baginya, di balik keindahan dan keteraturan alam semesta ini pasti ada sebuah tujuan yang mendalam dan kehadiran Sang Perancang yang cerdas.
Al-Baqillani, seorang pemikir Islam lainnya, menyatakan bahwa seperti tulisan memerlukan penulis, dan gambar memerlukan pelukis, begitu pula dunia ini memerlukan seorang pembuat dan pencipta. Argumentasinya mengarah pada gagasan bahwa ketelitian dan perencanaan dalam alam semesta ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan semata, melainkan harus ada sebuah kekuatan cerdas yang bertanggung jawab atas penciptaan dan penataan ini.
Selanjutnya, Guessoum menggambarkan pandangan Al-Ghazali dalam kitabnya “Al-Hikmatu fi Makhluqatillah” sebagai seorang teleological anthropic. Pandangan ini menyatakan bahwa penciptaan langit dan bumi terjadi dengan tujuan khusus untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan manusia. Ini menunjukkan bahwa Perancang Cerdas menciptakan alam semesta dengan penuh kebijaksanaan dan pertimbangan untuk mendukung kehidupan manusia.
Menurut Ibn Rusyd dalam “Fashl Maqal“, filsafat tidak hanya mempertimbangkan fenomena alam yang ada, tetapi juga berusaha mengenali keberadaan Sang Pembuat (al-Shani’) di balik semua ini. Ini menegaskan pentingnya mencari pemahaman tentang tujuan dan makna di balik ciptaan alam semesta, sehingga tidak hanya terbatas pada penjelasan fenomena fisik semata, tetapi juga memandang lebih dalam ke dalam aspek spiritual dan intelektual.
- Perancangan Cerdas dalam Wacana Kontemporer
Pemikiran tentang Perancangan Cerdas memiliki beberapa pendukung di kalangan Muslim kontemporer, seperti Muhammad Abduh dan Mohamed Tahar Ben Achour. Kedua pemikir ini dengan tegas mendukung argumen Perancang karena dianggap sejalan dengan pandangan dunia yang terdapat dalam al-Qur’an, kitab suci umat Islam. Mereka melihat keberadaan kompleksitas alam semesta sebagai bukti akan adanya perancang cerdas di baliknya, yang telah merancang dan mengatur segala hal dengan tujuan tertentu.
Harun Yahya adalah salah satu tokoh yang secara terang-terangan mempromosikan konsep Perancangan Cerdas dalam banyak bukunya. Ia berpendapat bahwa kompleksitas kehidupan dan alam semesta tidak dapat dijelaskan semata-mata melalui proses-proses alami dan acak, tetapi memerlukan adanya perancang cerdas yang bertanggung jawab atas segala ciptaan ini. Pemikiran Harun Yahya ini sering kali mencuri perhatian dan mempengaruhi pandangan beberapa individu dalam masyarakat Muslim.
Menurut Guessoum, argumen Perancangan Cerdas pada era kontemporer ini cukup berkembang. Perkembangan ini menghasilkan dua argumen utama: Irreducible Biochemical Complexity (Kompleksitas Biokimia yang Tidak Dapat Dikurangi) yang dikembangkan Michael Behe; dan Specified Biological Information (Informasi Biologi yang Ditentukan) yang dikembangkan William Dembski. Para pendukung teori ini berpendapat bahwa kompleksitas dan informasi yang ada dalam alam semesta, terutama pada tingkat organisme hidup, tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh proses evolusi darwinian yang bersifat acak dan tanpa arah. Sebagai gantinya, mereka menyimpulkan adanya Perancang Cerdas di balik kompleksitas ini.
Dalam argumen tentang Irreducible Biochemical Complexity, para pendukung Perancang Cerdas berfokus pada bagian-bagian biokimia tertentu dalam organisme hidup yang dianggap “irreducibly complex“. Artinya, bagian-bagian tersebut hanya dapat berfungsi dan berperan jika disatukan dengan bagian-bagian lain yang juga memiliki kompleksitas dan fungsinya sendiri. Secara individual, bagian-bagian ini tidak memiliki fungsi apapun dan tidak dapat dijelaskan bagaimana mereka dapat berevolusi melalui proses bertahap dan acak. Oleh karena itu, para pendukung Perancang Cerdas menyimpulkan bahwa entitas “di luar sana” haruslah ada untuk merancang dan menyatukan bagian-bagian kompleks ini.
Sementara itu, argumen tentang Specified Biological Information fokus pada kompleksitas informasi yang terdapat dalam DNA dan sistem genetik organisme hidup. Para pendukung Perancang Cerdas berpendapat bahwa informasi genetik yang kompleks dan teratur dalam DNA tidak dapat dijelaskan dengan mekanisme evolusi semata. Mereka berargumen bahwa informasi ini haruslah ditentukan oleh Perancang Cerdas yang memiliki pengetahuan dan kekuatan untuk merancang sistem genetik yang kompleks dan berfungsi dengan presisi.
- Pandangan Guessoum Terhadap Konsep Perancangan
Meskipun ada upaya untuk mengaitkan Perancangan Cerdas dengan pemahaman keagamaan dalam Islam, banyak ahli berpandangan skeptis. Saya secara pribadi berpendapat bahwa pandangan ini mirip dengan “Tuhan dari celah-celah”. Ketika ada aspek alam semesta atau kehidupan yang sulit dijelaskan atau belum dipahami sepenuhnya oleh ilmu pengetahuan, konsep Perancang Cerdas digunakan untuk menjelaskan dan mengisi kekosongan tersebut. Bahkan di kalangan pemikir Muslim, termasuk Guessoum sendiri terdapat keraguan tentang apakah Perancangan Cerdas benar-benar dapat mengatasi pandangan evolusi Darwin secara ilmiah.
Selain itu, terdapat paradoks di kalangan umat Muslim yang menarik perhatian Guessoum. Mereka percaya pada konsep Perancangan Cerdas, yaitu bahwa ada entitas cerdas yang merancang alam semesta dan kehidupan. Namun, mereka menolak evolusi Darwin yang menjelaskan asal-usul kehidupan. Yang menarik, mereka tetap menerima evolusi umum yang menjelaskan asal-usul materi dan usia tata surya yang telah miliaran tahun. Paradoks ini menunjukkan adanya konflik antara keyakinan agama dan pemahaman ilmiah tentang evolusi. Bagaimana cara menggabungkan keduanya secara konsisten tetap menjadi pertanyaan yang menarik
Lebih lanjut, Guessoum berpendapat gagasan Perancangan Cerdas tidak dapat dianggap sebagai teori ilmiah setidaknya karena dua alasan: pertama, tidak dapat membuat prediksi. Salah satu ciri utama teori ilmiah adalah kemampuannya untuk membuat prediksi yang dapat diuji dan diverifikasi oleh data empiris. Namun, Perancang Cerdas tidak memiliki kemampuan ini karena tidak mengajukan hipotesis atau model yang dapat diuji secara empiris untuk memprediksi fenomena alam atau memberikan jawaban konkret atas pertanyaan ilmiah.
Kedua, konsepsi Perancang Cerdas melanggar kriteria falsifiabilitas. Teori ilmiah harus mengajukan klaim atau hipotesis yang dapat diuji dan dibuktikan salah jika data empiris menentangnya. Sebagai contoh, argumen Perancang Cerdas seperti yang dipresentasikan oleh Michael Behe tentang Irreducible Biochemical Complexity dan William Dembski tentang Specified Biological Information tidak menyajikan prediksi yang dapat diuji dalam eksperimen atau pengamatan. Sebagai akibatnya, para kritikus menilai bahwa teori Perancang Cerdas tidak memenuhi kriteria falsifiabilitas.
Berdasarkan paparan Guessoum di atas, saya berpendapat bahwa argumentasi Perancang Cerdas hanya bergantung pada asumsi filosofis tanpa adanya bukti empiris yang dapat diandalkan. Asumsi filosofisnya juga seringkali hanya mengandalkan analogi. Analogi tidak selalu dapat menjadi bukti yang kuat dalam konteks ilmiah. Analogi hanya merupakan perbandingan antara dua hal yang mungkin memiliki kesamaan, tetapi tidak dapat dianggap sebagai bukti konkret atau penjelasan ilmiah yang valid. Seringkali, argumen berbasis analogi dapat menyederhanakan kompleksitas masalah atau menyimpang dari realitas fakta.
Meski demikian, eksplorasi Guessoum atas topik-topik ini memerlukan pemeriksaan serius yang lebih lanjut. Ketegangan antara evolusi dan Perancangan Cerdas memerlukan harmoni antara eksplorasi ilmiah dan keyakinan spiritual. Wawasan Guessoum mengundang kita untuk merenung dan memperkaya dialog ilmiah dalam komunitas umat Islam. Kesungguhan dalam memahami hal ini diharapkan akan membantu umat Islam berkontribusi pada perjalanan berkelanjutan dalam memahami misteri ciptaan dan peran manusia dalam tatanan kosmis yang luas. (Ilham)