Mengapa Metode I’jaz dalam Penafsiran Al-Qur’an Diperselisihkan Para Akademisi?
Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang diyakini sebagai panduan dan solusi untuk permasalahan kehidupan manusia. Dalam pandangan umat Islam, al-Qur’an adalah wahyu Ilahi yang diterima Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril. Namun akhir-akhir ini mendapatkan perhatian lebih dari para akademisi. Isi kandungan kitab suci ini jika dibahas tidak ada habisnya karena mengandung isi pokok yang lengkap dan kompleks seperti akidah, ibadah, muamalah, sejarah, akhlak dan hukum. Tidak hanya itu, pada saat ini juga berkembang diskusi bahwa al-Quran memuat jawaban sains modern. Al-Qur’an diyakini lebih dahulu membawa informasi ilmiah dibandingkan penemuan para ilmuwan. Pernyataan ini kemudian diklaim sebagai bagian dari kemukjizatan al Qur’an, yang kemudian disebut sebagai teori I’jaz.
Menurut Ziauddin Sardar sikap kaum muslimin terhadap sains modern terbagi menjadi tiga golongan yaitu (1) tradisional, yang memiliki pikiran bahwa sains merupakan jalan untuk sampai pada Tuhan; (2) konvensional, sains merupakan hal yang netral, obyektif dan universal; dan (3) I’jaz, yang menekankan kandungan sains yang menakjubkan dalam al-Qur’an. Kelompok pertama dan ketiga memiliki misi yang sama yaitu ingin membawa sains ke dalam peradaban Islam kontemporer. Kelompok tradisional menekankan segala ilmu pengetahuan haruslah dapat menjadi jalan untuk mencapai kesempurnaan iman kepada Allah SWT. Sedangkan kelompok I’jaz mendasarkan bahwa perkembangan sains modern telah dijelaskan dalam al-Qur’an sehingga memunculkan cara pandang baru bahwa al-Qur’an lebih dari cukup untuk menjadi landasan ilmu pengetahuan jika dibaca dan diteliti dari pada sains modern tersebut. Di sisi lain, kaum muslimin muncul kepercayaan dan bangga terhadap agamanya serta mampu membuktikan kemajuan sains dalam al Qur’an. Pendekatan ini dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi Barat yang telah dianggap mengungguli islam dalam berbagai bidang terutama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai hasilnya, pola pembacaan sains dengan metode I’jaz al-Qur’an ini semakin meluas sehingga banyak digunakan dalam bidang dakwah, karena pembaca awam lebih mudah percaya dan menerima segala informasi yang berhubungan dengan al-Qur’an.
Setelah adanya perkembangan yang pesat dari metode I’jaz di dunia Islam, Nidhal Guessoum bukannya mendukung tetapi sebaliknya justru mengkritik penggunaan pola tersebut. Menurutnya metode ini cacat secara metodologis sehingga cenderung berbahaya. Seperti bola salju yang awalnya kecil dan putih kemudian menggelinding membawa tumpukan kotoran. Nidhal Guessoum menunjukkan I’jaz al-Quran telah dielaborasi oleh beberapa tokoh muslim. Contohnya Zaghloul al-Najjar yang memperkenalkan bahwa kemukjizatan al-Quran mendahului penemuan ilmiah serta membuat rincian pedoman-pedoman I’jaz yang berjumlah sepuluh prinsip: (1) memahami teks al-Qur’an dengan baik sesuai kaidah bahasa Arab; (2) mempertimbangkan ilmu-ilmu al Quran yang relevan seperti asbabun nuzul dan Hadis yang menjelaskan ayat-ayat tertentu; (3) mengumpulkan berbagai ayat yang berkaitan dengan topik umum sebelum mencoba mengajukan penafsiran baru; (4) menghindari penafsiran yang berlebih, tidak memutarbalikkan beberapa ayat agar sesuai dengan hasil ilmiah; (5) menjauh dari permasalahan yang gaib; (6) seseorang memiliki kompetensi dalam bidang sains ketika menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan topik; (7) menjunjung tinggi kejujuran intelektual ketika berhadapan dengan kalam ilahi; (8) hanya menggunakan fakta-fakta ilmiah yang mapan, bukan teori dan dugaan yang tidak pasti, kecuali dalam ayat-ayat al-Qur’an dan pernyataan Nabi tentang penciptaan dan kemusnahan alam semesta serta tentang kehidupan manusia; (9) membedakan antara tafsir ‘ilmi dan I’jaz ‘ilmi; dan (10) menghormati usaha ulama sebelumnya dalam bidang ini.
Jika dilihat pedoman-pedoman I’jaz yang disusun oleh Zahloul al-Najjar begitu rinci dan jelas. Namun Nidhal Guessoum menyayangkan terkadang pedoman tersebut tidak aplikasikan. Kasus ini terjadi ketika Zahloul al-Najjar menyajikan ayat-ayat kosmos dalam al-Quran kemudian memberikan berlembar-lembar informasi ilmiah yang dapat ditemukan dalam ensiklopedi manapun kemudian pada akhir ulasannya menyatakan bahwa ini merupakan sebuah keajaiban dan ayat al-Qur’an telah meramalkan fakta ilmiah tersebut. Contohnya surat at Takwir ayat 15-16 “Aku bersumpah demi bintang-bintang, yang beredar dan terbenam”. Ayat ini kemudian diberikan penjelasan sebanyak dua puluh halaman disertai dua puluh gambar kemudian disimpulkan ayat ini merujuk pada lubang hitam. Penggunaan I’jaz seperti contoh ini menurut Nidhal Guessoum sebagai bagian dari rasa kebingungan antara usaha yang sah untuk memadukan penafsiran teks dengan pengetahuan manusia yang baru diperoleh (penemuan dan wawasan ilmiah modern) dan prinsip bahwa hasil ilmiah, hukum, penemuan dari yang paling umum hingga paling spesifik dan rahasia dapat ditemukan dalam al-Qur’an bahkan hadis. Namun, ini juga berpotensi menjadi berbahaya karena seseorang dapat melakukan penelitian ilmiah kemudian melakukan perbandingan dengan pernyataan al-Qur’an untuk mengklaim bahwa sains salah atau perlu dikoreksi.
Sebagai solusi atas kelemahan dan kecacatan I’jaz, Nidhal Guessoum menawarkan pendekatan baru yang berpotensi menghapus semua kekurangan dalam membaca al-Quran yang disebut “pembacaan multilevel”. Pendekatan tersebut diusung berdasarkan dua prinsip untuk merevisi teori I’jaz agar terhindar dari kesalahan. Adapun dua prinsip tersebut adalah (1) teks al-Qur’an memungkinkan pembacaan bertingkat. Prinsip ini penting untuk dunia muslim dan perkembangan agama Islam agar mampu meminimalisir monopoli kebenaran oleh pemimpin, ilmuwan ataupun lembaga pendidikan. (2) Sains dan filosofinya harus dipahami sepenuhnya sebelum seseorang mengajukan penafsiran teks agama yang mungkin memiliki hubungan dengan sains. Dalam hal ini seseorang harus mempelajari sains dengan baik, khususnya metodologi dan filosofinya serta tidak menggunakan pemahaman yang dangkal. Penting untuk diingat bahwa al-Qur’an memiliki tingkatan pembacaan yang beragam, sehingga menyediakan peluang untuk menemukan berbagai makna yang berbeda, tergantung pada pendidikan dan perkembangan zaman seseorang. Oleh karena itu, ketika seseorang menemukan beberapa fakta tentang alam semesta dalam sebuah ayat, hal tersebut tidak serta-merta dianggap sebagai sebuah mukjizat.
Praktek pembacaan multiple (bertingkat) diberikan contoh oleh Nidhal Guessoum dalam menjelaskan mukjizat Nabi Isa yang mampu menyembuhkan orang buta dikaitkan dengan plasebo (yang berkaitan dengan pikiran). Mukjizat yang lain seperti yang ditunjukkan oleh Nabi Musa ketika membelah lautan dapat dijelaskan oleh kondisi meteorologi yang tiba-tiba. Dua kasus ini bisa saja ada klaim efek plasebo dipicu oleh campur tangan Tuhan pada tingkat kuantum, sedangkan kondisi meteorologis yang menyebabkan angin bertiup dengan kencang sehingga mampu memisahkan lautan, hal ini juga tidak bisa dipisahkan dari intervensi Tuhan pada tingkat mikroskopis. Ayat dalam al-Qur’an yang sering dikutip adalah tentang langit sebagai pelindung: “Dan Kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara, namun mereka tetap berpaling dari tanda-tanda (kebesaran Allah) itu (matahari, bulan, angin, awan, dan lain-lain)” (al Anbiya:32). Ayat ini dulu dipahami secara berbeda sepanjang makna ayat-ayat Al-Qur’an, ada yang mengkaitkan dengan surat al-Jin ayat 8 dan as- Saffat ayat 7 bahwasannya langit sebagai pelindung dari setan-setan yang hendak mencuri berita dari langit. Namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan hari ini banyak yang mengartikan langit sebagai atmosfir, ozon, magnetosfer.
Penafsiran pembacaan bertingkat untuk al-Qur’an ini yang menurut Nidhal Guessoum tepat dan tidak mengandung unsur I’jaz di dalamnya. Mengambil prinsip-prinsip dan penerapan serta contoh-contoh yang sudah dijelaskan sebagai dasar pendekatan seseorang tehadap al-Quran dan sains. Konsep ini menjadi bukti nyata bahwa seseorang tidak dapat memaksakan pembacaan dan penjelasan atas ayat-ayat tertentu, apalagi menyatakan bahwa ayat tersebut sudah mengandung kebenaran ilmiah. Tafsir ilmiah ayat-ayat al-Qur’an bisa menjadi pembacaan terhadap teks yang telah diinformasikan dan dijelaskan dengan teori-teori sains oleh orang yang memiliki kompetensi dibidang sains. Metode ini merupakan penafsiran-penafsiran pribadi yang lebih mampu meyakinkan sebagian orang. (Editor)