Ayat-Ayat Semesta Jalan Sunyi Menuju Cinta Al-Quran dan Sains Menurut Prof. Drs. Agus Purwanto, M.Si, M.Sc, D.Sc.
Ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan yang pesat sejak awa abad ke-20. Berbagai penelitian dan penemuan telah mengubah cara hidup manusia. Ditemukan hukum kekekalan energi, E=mc2 lalu terapannya menghasilkan bom atom yang menghancurkan dua kota di negeri Sakura, Hiroshima dan Nagasaki. Sesudah masa mengerikan ini, sains kembali diarahkan untuk kemajuan umat manusia. Era perkembangan antariksa, manusia pertama Yuri Gargarin mampu menembus ruang angkasa dan Neil Amstrong dikabarkan mampu mendarat di bulan. Inilah cikal bakal menandai babak baru manusia mampu menjelajahi ruang angkasa.
Hasil dari sains makin hari makin canggih. Hasilnya adalah menciptakan mikroskop terbesar di bumi, mikroskop tersebut adalah Large Hadron Collider (LHC) di laboratorium CERN Jenewa untuk menelusuri partikel paling kecil di alam semesta. Dari lingkungan riset yang sama lahir World Wide Web pada awal 1990-an, sebuah revolusi informasi berbasis konsep hiperteks. Web dirancang memudahkan pertukaran data. Bahkan sebelum web, laboratorium CERN telah menjadi pionir pengembangan teknologi internet sejak awal 1980-an.
Dunia biologi juga tidak mau kalah, di bidang ini mampu mengurai kerja sel dan DNA, membuka jalan bagi teknologi seperti kloning dan rekayasa genetika. Inovasi-inovasi ini menghasilkan teknik baru yang berdampak pada pertanian, kesehatan, dan industri yang hasilnya mulai dari perbaikan varietas hingga produksi bahan biologis yang lebih efisien.
Semua capaian tersebut nyata manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, banyak produk teknologi yang kita gunakan bukan berasal dari negeri muslim. Pertanyaan pun muncul, bagaimana hubungan Islam dengan sains serta bagaiamana islam sebagai agama langit memandang sains sebagai produk manusia?
Al-Qur’an dan Alam
Ilmu alam (natural science) merupakan fondasi bagi teknologi yang mencakup astronomi, biologi, fisika, kimia, geologi, juga farmasi, kedokteran dan cabang terapannya. Al-Qur’an tidak menawarkan rumus siap pakai, melainkan cara pandang untuk membaca ciptaan menggunakan akal secara jernih. Dengan perspektif ini, belajar sains bukan hanya urusan laboratorium, tetapi juga rasa syukur dan tanggung jawab sebagai orang hamba Allah.
Langkah awal yang sederhana sekaligus efektif adalah menginventaris ayat-ayat tentang alam. Susun peta tema yaitu bagian-bagian alam (langit, bumi, air, angin, cahaya), gejala (hujan, siang,malam, orbit), dan makhluk hidup (tumbuhan, hewan, manusia). Peta ini menjadi petunjuk untuk riset mulai dari memilih topik, menyiapkan bacaan, hingga merumuskan pertanyaan yang bisa diuji. Cara ini membantu untuk menautkan teks wahyu dengan observasi lapangan secara sistematis.
Ayat-ayat alam ini dapat dipetakan ke beberapa kategori fungsional. Pertama, ayat umum yang menegaskan bahwa semua yang di langit dan di bumi adalah milik Allah contohnya dalam QS. Asy-Syura ayat 4. Ayat jenis ini membentuk worldview tauhid yang berisi ada Khāliq (Pencipta) dan ada makhluk (ciptaan). Konsekuensinya praktis yaitu ilmuwan bebas meneliti, tetapi sadar batas dan mampu memikul amanah yang hasilnya sains harus menjaga martabat manusia serta keseimbangan lingkungan.
Kedua, ayat spesifik dan ayat implisit. Ayat spesifik menyebut objek atau gejala alam secara deskripti seperti air, angin, cahaya, gunung, tumbuhan, hewan, sampai istilah dzarrah (partikel amat kecil). Ayat implisit mengandung isyarat yang perlu penelitian dan tafsir lebih lanjut; contoh yang sering dikutip ialah cairan dari perut lebah (QS 16:69) atau “rahasia semut” (QS 27:18). Keduanya mendorong kebiasaan ilmiah untuk melakukan observasi dengan menghubungkan data empiris dengan ayat Al-Quran.
Ketiga, ada ayat simbolik bahasa dan struktur yang menggugah kesadaran pada pola kosmik, seperti isyarat keteraturan orbit seperti dalam QS Yasin ayat 40. Di sinilah matematika, pemodelan, dan kosmologi bertemu dengan tafsir kemudian teks memberi arah, data memberi bukti, dan akal menjahit keduanya. Jika peta ayat dipakai sebagai materi ajar dan landasan riset, kampus akan lebih mudah mengubah ayat menjadi hipotesis kemudian hipotesis menjadi eksperimen hasilnya eksperimen menjadi pengetahuan yang valid, bermanfaat, dan beradab.
Al Quran dan Akal
Sains selalu bertolak dari kerja akal manusia. Al-Qur’an menegaskan arah kerja akal yaitu berpikir, menimbang, dan mengambil pelajaran. Karena itu, relasi Al-Qur’an dan sains tidak perlu dipertentangkan. Al-Qur’an memberi pandangan nilai dan dorongan metodologis kemudian sains menyediakan alat untuk membaca keteraturan alam. Tujuannya sama, menghadirkan pengetahuan yang bermanfaat dan memberikan kemaslahan untuk manusia.
Cara Al-Qur’an berbicara tentang akal sangat menarik. Dalam Al-Quran istilah akal hadir dalam bentuk kata kerja, bukan kata benda. Pesannya jelas yaitu berpikir adalah kegiatan yang terus berlangsung bukan identitas pasif. Dua pola redaksi sering muncul. Pertama, afala ta‘qilūn (Tidakkah kamu sekalian berpikir) yang bersifat ajakan langsung, menandai dialog Al-Qur’an dengan pembacanya. Kedua, ya‘qilūn (“mereka berpikir”) yang bersifat deskriptif, sering sebagai cermin moral untuk mengingatkan manusia yang lalai ketika menjauh dari nalar dan lupa mengambil pelajaran. Cara ini Al-Qur’an mengingatkan bahwa ilmu bukan sekadar hafalan melainkan kejujuran intelektual dan tanggung jawab yang memiliki landasan moral keagamaan.
Al-Qur’an juga menuntun arah penelitian. Banyak ayat mengajak memperhatikan gejala alam seperti hujan, angin, awan, cahaya, gunung, tanah, dan orbit benda langit. Selain itu juga dunia hayati juga di bahas oleh Al-Quran seperti lebah, semut, tanaman, buah-buahan. Sebagian ayat bersifat deskriptif, sebagian lain memberi isyarat yang memerlukan penelitian dan ada narasi simbolik untuk menggugah kesadaran kosmik. Dari sini tumbuh kebiasaan ilmiah untuk mengamati isi alam semesta sehingga diharapkan sadar akan keterbatasan kemampuan manusia kemudian akan lahir rasa ketauhidan kepada sang pencipta.
Alquran dan Bahasa arab
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab merupakan sebuah penegasan yang berulang di dalam wahyu dan tradisi keilmuan Islam. Karena itu, banyak ulama sejak generasi awal mendorong kaum muslimin belajar dan mengajarkan bahasa Arab agar pesan wahyu dipahami tepat, bukan sebatas terjemahan yang kerap menyempitkan makna. Ketelitian pada kata, susunan kalimat, dan gaya bahasa membantu kita menangkap maksud ayat secara lebih akurat, sehingga pijakan nilai tidak bergeser hanya karena kekeliruan istilah.
Penguasaan bahasa Arab juga membuka jalan ke khazanah ilmu klasik seperti tafsir, fikih, ilmu kalam hingga ilmu-ilmu alat lainnya yang menjadi rujukan penting dalam membaca persoalan modern. Istilah seperti ‘adl (keadilan), amanah (tanggung jawab), maslahah dan mafsadah (manfaat dan mudarat) memiliki nuansa makna yang presisi. Saat dirujuk langsung dari sumbernya, istilah-istilah ini memberi arah yang jelas ketika menilai tujuan, metode, dan batas etis sebuah penelitian atau teknologi, tanpa terjebak generalisasi berlebihan.
Dalam praktiknya, literasi Arab membuat dialog antara ayat-ayat qauliyah (teks) dan kauniyah (alam) berjalan serasi. Ia menolong peneliti merumuskan pertanyaan yang sahih, menimbang data dengan jernih, serta mengkomunikasikan temuan tanpa melampaui batas makna. Singkatnya, bahasa Arab bukan sekadar alat baca, melainkan fondasi presisi pada wahyu sekaligus ketelitian ilmiah agar pengetahuan yang lahir mampu memberikan kemaslahatan untuk umat manusia.
Sebagai penutup, jalan “dari ayat ke laboratorium” mengajarkan bahwa sains dan Al-Qur’an bukan dua kutub yang saling terpisah, melainkan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Worldview tauhid menegaskan arah ilmu digunakan untuk kemaslahatan dan menjaga keseimbangan alam. Sementara seruan ta‘qilūn menggerakkan kita untuk terus berpikir jernih, jujur, dan rendah hati karena manusia memiliki keterbatasan. Peta ayat tentang alam memberi bahan baku pertanyaan riset kemudian laboratorium menyediakan cara mengujinya dan literasi bahasa Arab menjaga presisi makna agar nilai tidak meleset saat diterapkan. Dengan ikhtiar ini, umat tidak berhenti sebagai pengguna teknologi, tetapi tumbuh sebagai penghasil pengetahuan yang sahih kemudian melahirkan inovasi yang menolong, melahirkan manusia yang beradab serta menghadirkan rahmat bagi semesta. (admin)