AL-QUR’AN DAN FILSAFAT PENGETAHUAN/SAINSNYA

26 February 2025, oleh: Editor

Islam merupakan kebudayaan yang berpijak pada sebuah kitab bernama al-Qur’an

-Massimo Campanini-

Al-Qur’an dan Kebudayaan Islam

Banyak academia Barat yang mengatakan bahwa posisi al-Qur’an dalam kebudayaan Islam begitu luar biasa. Sachiko Murata & William C. Chittick dalam bukunya menuliskan bahwa al-Qur’an merupakan salah satu (teks) paling luar biasa yang pernah ditulis di atas kertas. Reza Aslan mengadopsi Kenneth Cragg menegaskan tentang keistimewaan al-Qur’an sebagai peristiwa paling penting dalam sejarah Arab. Sedangkan di kalangan umat muslim sendiri, al-Qur’an adalah mukjizat yang diberikan Tuhan kepada Muhammad dan menegaskan bahwa pada zaman Muhammad saw, hal yang dianggap keajaiban bukanlah sihir atau obat-obatan melainkan Bahasa, yakni bahasa Arab yang digunakan al-Qur’an itu sendiri.

Barat seringkali terheran-heran dengan tradisi umat Islam, baik cendekiawan maupun awam selalu saja merujuk ayat-ayat al-Qur’an untuk membahas topik-topik yang dianggap penting. Suha Taji Farouqi sendiri mengakui adanya jutaan orang merujuk al-Qur’an setiap hari untuk membenarkan aspirasi atau menjelaskan tindakan mereka, dan hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Sayyed Hossein Nasr menyinggung keberadaan isu-isu yang beredar tentang sinisme Barat terhadap al-Qur’an yang menyamakan kedudukan al-Qur’an sebagaimana kitab Injil dalam agama Kristen. Menurut Nasr, meskipun al-Qur’an dapat dibandingkan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, al-Qur’an lebih tepat membandingkan dengan Yesus Kristus. Al-Qur’an dan Yesus Kristus sama sama dapat didefinisikan sebagai lambang Allah yang dikirim dalam bentuk masing-masing kepada Muhammad dan Maria. 

Menyamakan al-Qur’an dengan Injil adalah sebuah problematik yang perlu dibahas, Injil yang dikenal memiliki versi new and old testament menunjukkan adanya inkonsistensi sebuah kitab panduan kehidupan manusia, belum lagi perubahan tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak otoritatif (re:manusia biasa). Penerapannya dalam setiap gerejapun didapati distorsi-distorsi atau interpretasi-interpretasi tambahan tergantung pada pastur yang memimpin. Hal inilah yang menunjukkan kesakralan Injil dalam kehidupan berbeda dengan al-Qur’an yang dari awal hingga akhir tidak mengalami perubahan sebagaimana Yesus Kristus. Ini merupakan alasan Nasr terhadap metode rasionalis dan agnostic dalam kritisisme tingkat tinggi.

Adapula Fahd ar-Rumi melalui karyanya yang berjudul Characteristic of The Noble Qur’an, beliau menambahkan keistimewaan al-Qur’an dari sisi kulitas bahasa yang digunakan, 40 halaman dihabiskannya hanya untuk membedah gaya bahasa al-Qur’an, yang pada intinya terangkum dalam karakteristik sebagai berikut:

  1. Kekayaan kosakata yang lima kali lipat lebih banyak dibandingkan buku berbahasa Arab lain
  2. Beberapa kata dalam al-Qur’an memiliki satu, dua atau beberapa arti 
  3. Setiap kata memiliki kekhasan dalam nada dan irama yang bisa dipraktikkan oleh seluruh segmentasi masyarakat muslim
  4. Kandungan al-Qur’an sesuai dengan segala usia dan zaman
  5. Memiliki keseimbangan dan menyentuh hati serta pikiran dengan menggunakan gaya sastra dan ilmiah sekaligus
  6. Keringkasan dalam ekspresi tetapi sarat akan makna
  7. Keluasan dalam imaji dan metafora

Reza Aslan mengingatkan secara tegas bahwa umat Islam dari seluruh ragam kebudayaan dan etnis harus membaca al-Qur’an dalam bahasa Arab (ketika shalat), terlepas dari persoalan mengerti atau tidak akan maknanya . Hal ini mengingat urgensi pesan al-Qur’an untuk meluruskan kehidupan seorang muslim. Terlebih lagi al-Qur’an merupakan kata-kata suci yang berasal dari Tuhan yang Esa, tentunya memiliki kekuatan spiritual yang dikenal dengan istilah barakah. Bahkan Muratta dan Chittick memberikan penekanan bahwa hanya al-Qur’an yang berbahasa Arablah yang disebut dengan al-Qur’an, sedang terjemahannya tidak lain hanyalah interpretasi. Dengan kata lain bahasa Arab dalam al-Qur’an dalam banyak hal lebih penting dibandingkan arti teks al-Qur’an itu sendiri. Dari seluruh dinamika al-Qur’an itu sendiri, yang pasti Al-Qur’an tidak dapat dipandang sebagai buku klasik yang menguraikan filsafat tertentu. Akan tetapi lebih daripada itu, Muzaffar Iqbal mengklaim al-Qur’an pada dasarnya adalah sebuah filsafat sains kosmologis karena al-Qur’an mengandung beberapa ayat yang menggambarkan asal mula alam semesta dan kehidupan.

Penafsiran al-Qur’an

Dengan mempertimbangkan nilai penting al-Qur’an yang sangat fundamental dalam Islam, seni interpretasi teks pun menjadi salah satu minat intelektual dan ranah perdebatan yang paling sentral dalam tradisi Islam. Muncul kemudian ilmu seputar al-Qur’an yang disebut dengan Ulumul Qur’an. Muratta dan Chittick menganggap sumber kekayaan sejarah intelektual Islam adalah berpusat pada penafsiran yang beragam dan berbeda untuk ayat-ayat yang sama. Muhammad Talbi justru menambahkan akan keunikan penafsiran al-Qur’an yang tidak hanya satu, tetapi ada beberapa kunci untuk membaca al-Qur’an. Semua kunci tersebut pada waktu yang sama bisa jadi bersifat subjektif ataupun objektif.

  1. Ali Imran ayat 7 yang berbunyi:

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.

Menurut Muhammad Asad QS Ali Imran ayat 7 menegaskan bahwa al-Qur’an sangat jelas memberitahu manusia bahwa ada banyak bagian dan ekspresi dalam al-Qur’an yang harus dipahami dalam arti kiasan karena alasan sederhana yakni agar dapat dipahami manusia, maka ayat-ayat tersebut memang harus disampaikan dengan cara lain. dan sekaligus menjadi alasan kuat mengapa dalam beberapa ayat al-Qur’an yang bersifat alegoris. Karena pada dasarnya hanya sebagian kecil saja dari realitas yang dapat ditangkap oleh persepsi dan imajinasi manusia, sedangkan sebagian besar realitas tersebut berada di luar daya jangkau dan pemahaman manusia. Alasannya, bagaimana mungkin manusia dapat memahami secara empiris gagasan-gagasan yang tidak memiliki padanannya dalam sebuah kesadaran penuh? Yakni melalui gambaran-gambaran yang berasal dari pengalaman riil kita sebelumnya, baik pengalaman fisik maupun mental.

Muhammad Talbi dan Metode Penafsiran Intensionalis

Muhammad Talbi sebagai ulama kontemporer menawarkan sebuah metode interpretasi al-Qur’an bernama Intensionalis, yakni upaya menemukan maksud Allah swt di balik berbagai topik yang secara umum maupun khusus disampaikan dalam al-Qur’an. Pembacaan intensionalis terhadap teks suci pada hakikatnya bukan hal baru, mamun dewasa ini dibutuhkan momentum dan semangat yang baru. Salah satunya menerapkan Kembali penalaran analogis/qiyas yang digunakan para ulama fikih. Meskipun memang pembacaan semacam di atas banyak ditolak oleh ulama fikih sendiri, Talbi secara pribadi menyukai pembacaan intensionalis untuk penalaran alegoris tanpa menolak analogi dalam semua keadaan

Muhammad Syahrur dan Metode Penafsirannya

Seorang pemikir Suriah yang kontroversial tahun 1990, terkenal dengan nama Syahrur. Beliau disebut-sebut sebagai Martin Luthernya Islam dan Immanuel Kant nya dunia Arab. Prinsip metode penafsirannya, bahwa setiap kata dalam al-Qur’an memiliki makna yang tepat dan unik (sehingga tidak ada sinonim dalam kitab suci tersebut). Apa yang Syahrur lakukan adalah membedah teks dalam Upaya membuka kode semantic yang memungkinkannya menemukan hubungan satu ayat dengan ayat yang lain untuk menghasilkan makna baru yang sebelumnya tidak sama sekali terduga. Muhammad Syahrur telah mendeklarasikan dirinya sebagai seorang yang mengusung pola pembacaan qiraah mu’ashirah dalam mengkaji al-Qur’an. Syahrur menggunakan pendekatan sains khususnya mekanika tanah dalam mendekonstruksi term-term yang selama ini dianggap mapan dalam studi Islam. Bagi syahrur, keunikan dan keajaiban kitab suci itu terletak pada hubungan dialektis antara kestatisan bentuk teks dan kedinamisan isi teks yang tidak hanya memungkinkan pembacaan dan pemaknaan baru oleh manusia dari berbagai usia dan zaman. Sehingga siapa saja yang berhak menginterpretasi al-Qur’an? Kata Syahrur, seluruhnya.

Kelemahan Muhammad Syahrur menurut Salim al-Jabi

Salim al-Jabi merasa gusar ketika Syahrur mendekontruksi beberapa term dan istilah pokok dalam al-Qur’an yang selama ini dianggap telah masyhur baik di wilayah penafsiran al-Qur’an sendiri maupun dalam kitab wilayah kajian linguistic Arab secara umum. Istilah seperti al-Kitab, al-Qur’an, al-Furqan, adz-Dzikr, nubuwwat dan sebagainya dirubah Syahrur menjadi arti yang berbeda yang pada hakikatnya hanya terjebak dalam arti bahasa dan belum sampai pada pemahaman makna istilah yang selama ini dikenal. 

Secara konseptual, yang digagas Syahrul adalah sah, karena ia mencoba memberikan penafsiaran baru terhadap beberapa aspek dalam al-Qur’an. Hal semacam ini juga bisa disebut dengan fitrah pemikiran dalam setiap dekade, di mana setiap zaman selalu memiliki konteks hermeneutikanya sendiri-sendiri. Cacat dekonstruksi ini dilatar belakangi oleh ketidak ahlian Syahrur dalam bidang linguistic Arab, sehingga Syahrur gegabah dalam menarik makna Bahasa menjadi makna istilah yang diharapkan mampu untuk mapan. Bahasa Arab kaya akan (1) lahjah (2) penggunaan makna yg beragam (3) sababun nuzul (4) makna apa yang dikehendaki Ketika turun. Jika landasan linguistic ini tidak diindahkan, maka syahrur hanya akan jatuh dalam dekonstruksi bebas tanpa landasan yang bisa berujung pada perubahan pedoman umum pemahaman al-Qur’an tanpa sumber yang valid. Al-Jabi sendiri lebih menyarankan untuk umat Islam mendekati al-Qur’an melalui pendekatan bahasa yang dipadu dengan pendekatan historis-tematis-kontekstual.

Filsafat Ilmu Pengetahuan al-Qur’an

Fahd ar-Rumi menyandarkan pada QS. Luqman ayat 27, mengatakan bahwa al-Qur’an memuat semua jenis pengetahuan yang jika dikelompokkan adalah sebagai berikut (1) Teologi (2) Linguistik (3) Sastra (4) Sejarah Kuno (5) Yurisprudensi dan (6) Ilmu Alam. Diakui memang telah banyak penulis kontemporer yang berkonsentrasi tentang al-Qur’an dan menyajikan pandangan lengkap meliputi filsafat pengetahuan, filsafat alam dan mungkin juga filsafat sains. Sebut saja misalnya Mehdi Golshani, Ghaleb Hasan, Muntasir Mujahid dan Muzafar Iqbal. Dan pada tulisan Gusseoum akan banyak membahas karya utama Golshani yang berjudul “The Holy Qur’an and The Sciences of Nature” dan buku kaGhaleb Hasan yang berjudul “The Theory of Knowledge/Science in The Qur’an

Gholsani dalam menyikapi filsafat ilmu pengetahuan menentukan suatu prinsip utama yang menegaskan bahwa manusia dianugerahi kemampuan untuk belajar dari memahami sesuatu. Konsep ‘aql (penalaran/reasoning) muncul sebanyak 49 kali dalam al-Qur’an dan selalu disajikan dalam bentuk aktif, bukan sebagai gagasan abstrak atau kemampuan pasif manusia. Sehingga pada prinsipnya, manusia bisa mempelajari apapun termasuk alam semesta dan berbagai bidang lainnya. Gholsani jelas menolak klasifikasi tradisional yang memetakan pengetahuan menjadi pengetahuan agama dan pengetahuan non agama, hal ini didasarkan QS. Az-Zumar: 9, al-’Alaq: 5, an-Nahl: 70, keseluruhannya menggambarkan ‘ilm digunakan untuk menjelaskan makna yang umum. Gholsani sering mengutip pendapat prinsip cendekiawan Iran abad ke 20 Murtadha Mutahhari, yakni:
Kelengkapan dan finalitas Islam sebagai sebuah agama mengharuskan adanya pemanfaatan setiap bidang ilmu pengetahuan oleh masyarakat Muslim, sehingga ilmu pengetahuan apapun juga dianggap sebagai bagian dari ilmu keagamaan”.

Para penulis kontemporer memaknai hikmah (kebijaksanaan) pada QS. An-Nisa: 113 dengan sains yang mencakup seluruh ragam ilmu pengetahuan. Gholsani sendiri menambahkan bahwa pengamatan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang  berhubungan dengan pengetahuan (‘ilm) dan cara memperolehnya mengantarkan pada hierarki metode pengetahuan sebagai berikut:
(1) mendengarkan dalam arti memahami (2) mengamati (3) merenungkan (4) berpikir (5) mempertimbangkan (6) merefleksikan. Bucaille semakin menguatkan, dari ayat-ayat al-Qur’an yang ada, menunjukkan bahwa Allah mengajak manusia untuk melakukan reasoning (penalaran) dalam rangka memahaminya lebih dalam. Hingga dapat dikatakan bahwa refleksi atas data observasional memang diwajibkan, baik bagi orang-orang yang memahami maupun bagi orang yang bijaksana sebagaimana QS. Ali Imran:190; QS. Az-Zumar: 21; QS. Thaha: 53-54; QS. Yunus: 5 dan seterusnya.

Gholsani membagi sumber-sumber pengetahuan manusia menurut al-Qur’an ke dalam tiga bagian (1) Indera, yang memungkinkan manusia melakukan pengamatan dan pengukuran (2) akal/kecerdasan, yang memungkinkan manusia untuk merenung, berefleksi dan berpikir dan (3) wahyu Illahi, yang terkadang memberi manusia informasi yang belum diketahui (misalnya tentang cerita masyarakat kuno) atau membantu pikiran manusia mencapai kebenaran dengan perumpamaan, intuisi, pencerahan dan lain lain. ‘Campur tangan’ Allah dalam membantu akuisisi pengetahuan dapat terjadi dengan cara meditasi, penalaran atau pengamatan lapangan yang tidak melewatkan informasi-informasi penting di dalamnya. Sayangnya, para ulama sering mengulas ayat al-Qur’an tetapi belum ada yang mampu menunjukkan bagian-bagian al-Qur’an yang menegaskan bahwa ‘kemampuan’ tersebut tidak hanya terbatas pada Nabi dan orang-orang suci, tetapi juga dapat meluas di kalangan manusia biasa (QS. Al-Jumu’ah: 4).

Guessoum meyakini memang manusia dapat memeras saripati ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur’an dengan tingkat pengetahuan yang berbeda dari ayat-ayat al-Qur’an. Sebagaimana tingkat pengetahuan yang sebelumnya disampaikan, ada Sebagian orang yang mampu melakukan memercayai, mempertanyakan, berpikir, memahami, membayangkan, menyadari, memastikan dan lain lain. Akan tetapi mesti digarisbawahi di sini bahwa al-Qur’an juga tetap menekankan perhatian pada bahayanya penalaran tanpa bukti (QS. Al-Isra’:36; QS. Al-Baqarah: 111 dan QS. An-Naml: 64). Hal ini tidak hanya berlaku pada ranah teologis namun juga ilmu alam. 

Penjelasan tentang bukti (proof) dipaparkan Ghaleb Hasan dengan Pertama, bukti dalam al-Qur’an adalah bukti yang meyakinkan atau argument yang jelas dan kuat. Kedua, bukti tersebut tidak didapatkan dari tradisi atau pandangan orang-orang terdahulu (yang kita sebut hari ini dengan argument otoritatif) sebagaimana dalam QS. Al-Maidah: 104. Ketiga, baik pernyataan maupun penolakan sama-sama memerlukan bukti seperti halnya dikalamkan Allah swt dalam QS. An-Nisa: 174. Al-Qur’an membedakan manusia berdasarkan kemampuan dan kemauannya untuk belajar, memahami dan mencari kebenaran yang lebih dalam atau justru sebaliknya berkeras kepala menolak kebenaran ke dalam lima kategori (1) Kalangan awam yang berarti seluruh manusia (2) Komunitas muslim (3) Masyarakat terdidik atau berpengetahuan (QS. Ar-Rum:22; Al-Ankabut: 43) (4) Orang-orang yang bermoral yang dengan keimanannya berusaha membangun kehidupan, berperilaku dan berpikir sesuai hukum Allah (5) Orang-orang terpilih yang tidak memiliki keraguan apapun.

Golshani sendiri tidak memberikan kategorisasi dan hierarki yang begitu jelas, ia hanya memetakan manusia berdasarkan sifat-sifat yang diberikan al-Qur’an pada masing-masing kategori, antara lain: (1) orang yang beriman (2) orang yang shaleh (3) orang yang sadar akan keberadaan Tuhan (4) para pendengar kebenaran (5) para perenung (6) orang yang memahami (7) orang yang terpelajar (8) orang yang memurnikan kecerdasan (9) orang yang bijaksana (10) orang yang berkeyakinan penuh. Di sini dapat dicermati bahwa Ghalsani sangat menekankan dimensi moral dalam kategori orang yang berilmu. Sebaliknya Gholsani memaparkan hambatan kecerdasan yang terbagi menjadi dua, yakni polusi kecerdasan (QS. Al-Munafiqun:3; ar-Rum: 53; Yunus: 101) dan adanya Subjektifitas (QS. Al-Jatsiyah: 23). Kedua hambatan ini muncul disebabkan oleh ambisi, kesombongan, prasangka, dan sikap begitu saja yang menerima keyakinan masa lalu tanpa otoritas atau bukti yang menguatkannya.

Adapun tujuan pengetahuan dapat disimpulkan dengan naiknya jenjang manusia dari yang semula sekadar percaya menuju jenjang yang lebih tinggi yakni mengetahui, membaiknya moral, dan keyakinan penuh akan keberadaan Tuhan (QS. Fathir: 28).

Filsafat Sains al-Qur’an

Sementara waktu, pembahasan Sains pada bab ini belum dijelaskan secara panjang lebar dan membatasinya pada pengertian studi metodologi terhadap alam yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena. Muzaffar Iqbal memposisikan al-Qur’an dengan memaparkan sebuah konsep yang jelas dan komprehensif mengenai alam semesta dan informasi tersebut berperan besar menciptakan tradisi ilmiah dalam peradaban Islam. Sayangnya, Iqbal tidak bisa menguatkan pernyataan pertamanya (al-Qur’an memaparkan sebuah konsep yang jelas dan komprehensif mengenai alam semesta) dengan bukti yang meyakinkan sebab ia hamper tidak mengutip ayat-ayat yang relevan. Namun untuk pernyataan keduanya (informasi tersebut berperan besar menciptakan tradisi ilmiah dalam peradaban Islam) sering dijadikan rujukan dalam tulisan al-Biruni yang kerap dikutip Gholsani pula yakni pandangan al-Qur’an terhadap alam semesta ditandai oleh kesinambungan ontologis dan morfologis dengan konsep Tuhan (sebuah hubungan yang memberi nilai sacral tertentu pada alam semesta karena menjadi tanda yang mengarah pada realitas transendental). Pemikiran tersebut memang digunakan segelintir oleh pemikir muslim terkemuka namun ia tetap termasuk pada suatu aliran pemikiran yang marginal.

Dua prinsip utama yang saling terkait muncul sebagai filsafat sains al-Qur’an (1) Eksplorasi alam, yang mencakup mulai dari sekedar observasi hingga penelitian serius, harus secara jelas menunjukkan keteraturan (2) kajian terhadap alam semesta harus mengarah kepada satu kesatuan tertentu yang menuntun pada keimanan (yang semakin besar dan murni) terhadap sang Pencipta. Golshani menekankan beberapa tujuan teistik dari penelitian alam semesta menekankan pada:

     “Al-Qur’an tidak membenarkan proses penggalian ilmu pengetahuan yang hanya bertujuan memuaskan keingintahuan seseorang dalam memahami alam semesta. Olah karena itu, dalam Upaya memahami alam semesta, seseorang tidak boleh terlalu sibuk sendiri dengan sarana-sarana sekunder dan melupakan tujuan utamanya”

Tidak boleh ada lagi pandangan seperti Sayyid Quthub yang diklaim Campanini lebih mengarah pada mazhab Galilea yang membedakan dimensi religius dan dimensi ilmiah. Sebab, menurut Ghaleb Hasan tujuan umum sains dalam perspektif al-Qur’an (1) memuaskan keinginan manusia untuk memahami apa yang ada di sekitarnya (2) memperbaiki dunia, karena al-Qur’an menegaskan bahwa alam semesta diciptakan untuk melayani manusia, sehingga ia mungkin sekali untuk disempurnakan seperti yang telah dan sedang dipersiapkan serta dikembangkan sedemikian rupa saat ini (3) mengidentifikasi prinsip pertama (penyebab alam semesta raya) yakni upaya mencapai dan terhubung dengan Allah. Akhirnya, baik Ghaleb Hasan, Golshani maupun para pemikir Islam lain tetap mempertahankan asumsi adanya dimensi etis dalam sains al-Qur’an (dan dalam Islam pada umumnya). Hal ini didasarkan pada pernyataan bahwa al-Qur’an menganggap tindakan penciptaan sebagai Rahmat (QS. Ar-Rahman: 1-7 dan QS. Al-Isra’: 36).

Menuju Pendekatan Hemeneutis al-Qur’an

Dari awal buku ini sudah membahas Ibnu Rusyd secara Panjang lebar, dalam bab ini Kembali disinggung terkait peran Ibnu Rusyd sebagai salah satu bapak filsafat hermeneutika (ta’wil, penafsiran teks teks agama) dalam pemikiran Islam. Ibnu Rusyd tidak mengacu kepada rahasia tersembunyi dengan tingkat metafisik esoteris di luar arti harfiah seperti yang dipahami di kalangan Syiah, tetapi hanya pada tingkat lnguistik yang memposisikan konsep atau makna di balik kata-kata. Oleh karena itu ayat-ayat al-Qur’an mengandung makna yang beragam; beberapa dia antaranya bermakna literal sedangkan beberapa yang lain bermakna simbolik tentang alam semesta.

Campanini menekankan bahwa peran penafsir sangatlah penting karena dialah yang menerjemahkan makna-makna dari teks. Muhammad Talbi menganggap tidak ada pembacaan kunci yang tunggal terhadap al-Qur’an sebab ada beberapa kunci yang semuanya bisa jadi subjektif dan objektif dalam waktu yang sama. Sedangkan Hasan Hanafi lebih mengeneraliasi lagi dengan tidak ada pemahaman yang benar atau salah. Yang ada hanya Upaya yang berbeda untuk mendekati teks. Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks sebab interpretasi terhadap teks pada dasarnya adalah plural. Dari seluruhnya, Campanini menyimpulkan jika teks teks agama tidak berbeda dengan teks linguistic pada umumnya dan bisa dijadikan objek analisis hermeneutic, maka secara otomatis al-Qur’an –sebagai teks ilmiah- juga tidak dapat dimaknai secara literal semata.