Merajut Wahyu dan Sains: Pengalaman FKIK UMY dalam Integrasi Islam & Ilmu Kesehatan Menurut Dr. Titih Huriah, Ns., M. Kep., Sp. Kom.

2 August 2025, oleh: Editor

Di banyak fakultas kesehatan, ilmu dan agama kerap dianggap berjalan di dua jalur berbeda. Di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UMY, memilih untuk menjahit keduanya menjadi satu kain utuh. Integrasi Islam dan ilmu kesehatan dipahami sebagai upaya sadar untuk memastikan seluruh proses pendidikan mulai dari perencanaan kurikulum, cara mengajar, hingga budaya kampus yang bernafaskan tauhid, berlandaskan maqāṣid al-syarī‘ah, dan berorientasi pada kemaslahatan manusia.

Mengapa dan Bagaimana Integrasi Islam dan Ilmu Kesehatan di FKIK UMY?

Mengapa integrasi ini penting? Pertama, sains tidak bebas nilai. Setiap keputusan layanan kesehatan mulai dari meminta persetujuan pasien, memilih obat, sampai merawat pasien butuh kompas etika yang jelas seperti hifẓ al-nafs dalam basis nilai Islam maqāṣid al-syarī‘ah . Kedua, tradisi intelektual Islam sejak awal menolak dikotomi agama dan ilmu. Wahyu, akal, dan Indera bekerja sebagai satu kesatuan epistemik. Ketiga, realitas layanan kesehatan menuntut profesional yang tidak hanya cakap teknis, tetapi juga matang spiritual, empatik, dan adil. Pondasi ini, integrasi bukan sekadar label “religius” pada mata kuliah, melainkan cara pandang utuh yang memengaruhi caranya mahasiswa belajar, dosen membimbing, dan institusi mengambil keputusan.
Kerangka Integrasi Islam dan Ilmu Kesehatan UMY sederhana: (1) membumikan nilai Islam ke dalam capaian pembelajaran, (2) menautkan ilmu naqli (Al-Qur’an dan Sunnah) dengan ilmu ‘aqli (biomedik, keperawatan, kesehatan masyarakat), (3) membangun ekosistem kampus yang menumbuhkan karakter. Pendekatan Outcome-Based Education (OBE) menjadi jembatan efektif dan tujuan program dirumuskan sejak awal, kegiatan yang konsisten, strategi, dan asesmen dirancang agar tujuan tercapai.

Iklim Akademik dan Penguatan Dosen

Pada tataran kurikulum, profil lulusan FKIK UMY dibuwat jelas dan operasional. Nilai keislaman tidak ditempelkan sebagai slogan, tetapi diturunkan menjadi deskripsi kompetensi: berintegritas, mempunyai empathy, ilmiah, dan bertanggung jawab. Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) selaras antara sikap dan keterampilan lulusan. Misalnya, kepekaan etika dan spiritual dalam pengambilan keputusan pelayanan kesehatan, serta kemampuan berkomunikasi yang baik dengan pasien. Di level RPS, peta integrasi naqli dan ‘aqli ditulis eksplisit sehingga dosen dan mahasiswa sama-sama melihat hubungan antar disiplin ilmu.

Implementasi di kelas bertumpu pada pedagogi yang mendorong keterhubungan. Perkuliahan diawali doa dan pembinaan etika akademik. Dosen menutup dengan refleksi singkat, mengajak mahasiswa menautkan kasus kesehatan dengan pelajaran yang berhubungan dengan keimanan, bagaimana ayat-ayat Al-Qur’an memandu saat menghadapi pasien, bagaimana sunnah mengajarkan empati dan menjaga rahasia pasien. Tugas mahasiswa tidak berhenti pada ringkasan literatur, melainkan analisis kasus berbasis bukti yang disinergikan dengan dalil, sehingga penalaran pelayanan kesehatan tumbuh bersama nuansa keislaman dan kemanusiaan.

Kolaborasi lintas disiplin menjadi kunci. Pada keperawatan bencana, misalnya, mahasiswa tidak hanya mempelajari protokol kegawat daruratan, tetapi juga fikih kebencanaan, dasar-dasar rukhsah ibadah dalam situasi darurat, adab penanganan jenazah. Pada keperawatan medikal dan bedah, praktik ibadah pasien (wudhu tayammum, posisi salat bagi pasien) dibahas bersama aspek keselamatan pasien. Dengan demikian, pengambilan keputusan klinis dibentuk sekaligus oleh sains modern dan kebijaksanaan tradisi Islam.

Selanjutnya, ekosistem kampus menjadi sarana pertumbuhan karakter. Agenda tahfiz/tahsin bulanan, kultum, dan pengajian dosen serta tendik dimaksudkan bukan semata seremonial, tetapi sebagai bentuk pembiasaan dalam hidup. Integrasi kurikulum hanya akan efektif jika para pendidik terus mengembangkan kompetensi dan keteladanannya. Karena itu, peningkatan kapasitas dosen untuk ikut serta dalam kolokium, lokakarya, dan diskusi lintas prodi difokuskan pada dua hal yaitu memperdalam landasan naqli dan memperkaya keahlian ‘aqli agar kemampuan integrasi keilmuwan dosen mampu dituangkan dalam ruang kelas bersama mahasiswa ataupun di ruang pelayanan kesehatan.

Pendekatan OBE juga membantu menjaga konsistensi. Tujuan program (PEO/IEO) dirumuskan dengan jelas. Lulusan diharapkan mempraktikkan profesionalitas yang beradab, memimpin dengan empati, serta mampu berdialog dalam masyarakat yang majemuk. Dari tujuan itu, disusun CPL yang terukur dan disesuaikan dengan standar nasional, lalu ditetapkan strategi pembelajaran: kuliah interaktif, pembelajaran berbasis kasus, simulasi, praktikum klinik, dan refleksi. Terakhir, asesmen formatif-sumatif dipetakan agar setiap komponen integrasi agar tercermin pada kinerja mahasiswa.

Proses pembelajaran yang baik merupakan proses yang memiliki kultur islami dimulai dengan doa dan adab berdiskusi serta sudut ruangan kelas diisi dengan poster ayat al Quran atau hadist agar suasana menjadi lebih islami. Penugasan berbasis nilai mendorong mahasiswa membaca panduan fikih dari otoritas yang diakui dan mengaitkannya dengan pedoman klinik. Dalam riset, dosen dan mahasiswa mengeksplorasi topik yang memadukan bukti ilmiah dan nilai Islam dari edukasi kesehatan berbasis dalil hingga kajian praktik tradisional yang dinilai secara kritis melalui metodologi sains.

Upaya integrasi juga menyentuh fondasi pada tahun pertama. Pembekalan Islamic Revealed Knowledge, penguatan ‘aqidah dan akhlak, serta pengenalan etika profesi berbasis tauhid menjadi pondasi bagi pemahaman ilmiah berikutnya. Program Memorization of Qur’anic Verses (MOQ) dijalankan dengan target yang realistis dan menantang bagi mahasiswa misalnya, menguasai juz 30 dan surat al-Mulk dengan sistem pemantauan yang jelas. Bukan untuk mengejar angka, tetapi untuk menumbuhkan kedisiplinan spiritual yang menopang ketangguhan akademik dan mempunyai empati dalam layanan Kesehatan.

Menyatukan Wahyu dan Sains untuk Layanan Beradab
Apa dampak awal yang dirasakan dengan berbagai proses pembelajaran ini? Mahasiswa menunjukkan kepercayaan diri yang lebih tenang saat berhadapan dengan situasi sulit; mereka terlatih menjelaskan pilihan klinik beserta dasar etiknya, sekaligus peka pada keberagaman keyakinan pasien. Dosen merasa terbantu karena integrasi ilmu ini membuat diskusi lebih fleksibel bukan hanya “boleh” atau “tidak boleh”, tetapi “mengapa” dan “bagaimana” agar keputusan menjadi lebih tepat sesuai kaidah Islam. Di level institusi, arah tujuan bersama membuat kolaborasi lintas prodi menjadi lebih mudah karena semua pihak memahami peta integrasi keilmuwan yang sama.

Tentu pekerjaan ini belum selesai. Di tahap berikutnya, FKIK UMY memperkuat tiga hal. Pertama, pengembangan Islamic Personality seluruh sivitas akademik melalui karakter yang konsisten adalah nilai yang paling utama dalam integrasi ilmu ini. Kedua, islamisasi kurikulum melalui dosen pengampu: materi yang diajarkan dan dinilai harus memuat aspek Islam yang relevan dengan kompetensi klinik. Ketiga, peningkatan kapasitas naqli dan ‘aqli dosen secara berkala agar kualitas integrasi bertambah dalam dan meluas ke lebih banyak mata kuliah.

FKIK UMY juga memperbaiki tata kelola monitoring serta evaluasi. Peta indikator disusun agar kemajuan integrasi bisa diukur, misalnya ketercapaian CPL etik berbasis spiritual, kualitas tugas integratif, hingga umpan balik lapangan dari preseptor dan pasien. Data ini dipakai untuk memperbarui RPS, memperkuat pelatihan dosen, dan menyempurnakan kegiatan pembinaan. Dengan siklus perbaikan berkelanjutan, integrasi ini tidak menjadi proyek sesaat, tetapi menjadi identitas institusi bernilai.

Pada akhirnya, integrasi Islam dan ilmu kesehatan adalah paradigma untuk memandang manusia dalam perspektif Islam sebagai makhluk yang memiliki jiwa dan raga. Pengalaman FKIK UMY menunjukkan bahwa dengan desain kurikulum yang cermat, pedagogi yang reflektif, asesmen yang baik, serta kultur kampus yang menumbuhkan karakter islami, perjumpaan wahyu dan sains akan melahirkan tenaga kesehatan yang lebih kompeten, berempati, dan siap melayani masyarakat majemuk dengan penuh tanggung jawab. (admin)