Muhammadiyah dan Gerakan Pendidikan Menurut Dr. Chusnul Azhar, M.Pd.

9 August 2025, oleh: Editor

Memahami Ayat Qauliyah dan Kauniyah

Umat Islam bersepakat bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sumber utama ajaran agama. Namun, memahami keduanya dengan benar bukan perkara mudah. Sebagian teks agama bersifat zhanī (multitafsir) sehingga melahirkan beragam pemahaman, apalagi ketika berhadapan dengan kompleksitas zaman yang sangat berbeda dari masa turunnya wahyu.

Sejak awal berdiri, Muhammadiyah hadir dengan corak dakwah berbasis pendidikan. Gerakan ini menekankan pentingnya memahami ayat Allah dalam dua bentuk: qauliyah dan kauniyah. Ayat qauliyah adalah wahyu Allah dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, sedangkan ayat kauniyah adalah tanda-tanda Allah berupa alam semesta beserta hukum-hukum yang mengaturnya.

Oleh sebab itu, pendidikan Muhammadiyah sejak awal tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama yang berhubungan dengan akidah, akhlak, dan ibadah, tetapi juga menekankan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan begitu, peserta didik diarahkan agar mampu mengintegrasikan iman dengan ilmu, serta menjadikan pengetahuan sebagai jalan memakmurkan kehidupan.

Konsep Ilmu dalam Perspektif Muhammadiyah

Awal abad ke-20, pendidikan Islam di Indonesia menghadapi tantangan besar. Pesantren kala itu lebih menekankan pada kajian kitab klasik, al-Qur’an, dan hadis, namun enggan membuka diri pada ilmu pengetahuan modern. Akibatnya, lahirlah dikotomi pendidikan: pesantren hanya mengajarkan ilmu-ilmu qauliyah, sementara sekolah kolonial Belanda mengajarkan ilmu-ilmu kauniyah, meskipun sarat kepentingan politik dan kristenisasi.

Situasi ini menimbulkan dua masalah. Pertama, ilmu pengetahuan umum dianggap sebagai “ilmu kafir” karena diajarkan oleh penjajah. Kedua, sistem pesantren cenderung tradisional, menutup ruang inovasi, dan menempatkan kiai sebagai otoritas tunggal sehingga pendidikan berjalan tanpa dialog. Akibatnya, umat Islam tertinggal dalam bidang ekonomi, politik, dan teknologi.

KH. Ahmad Dahlan membaca realitas ini dengan tajam. Ia menyadari bahwa kemajuan suatu bangsa hanya bisa dicapai melalui pendidikan yang memadukan iman dengan ilmu pengetahuan modern. Karena itu, ia mendirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang menghapus dikotomi ilmu. Muhammadiyah menegaskan bahwa ilmu agama dan ilmu umum tidak boleh dipisahkan, sebab keduanya sama-sama bersumber dari Allah.

Gerakan ini menimbulkan resistensi dari sebagian kalangan pesantren. Bahkan KH. Ahmad Dahlan pernah dijuluki “kiai kafir” karena mengajarkan ilmu-ilmu yang dianggap duniawi. Namun, justru dari sinilah lahir paham keagamaan yang lebih dinamis: pemurnian (tajrīd) pada ranah akidah, akhlak, dan ibadah; serta pembaharuan (tajdīd) pada ranah muamalah duniawiyah sesuai perkembangan zaman.

Pendidikan Aplikatif dalam Perspektif Muhammadiyah

Selain mengintegrasikan ilmu, Muhammadiyah menekankan bahwa pendidikan harus menghasilkan pribadi berkarakter. Bagi KH. Ahmad Dahlan, pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga pengalaman hidup. Ia menekankan pembelajaran al-Qur’an yang aplikatif: setiap ayat harus dipahami, direnungkan, lalu diamalkan dalam keseharian.

Metode ini mencerminkan pendidikan karakter jauh sebelum konsep itu populer di dunia modern. Muhammadiyah percaya bahwa pendidikan harus menyentuh ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik sekaligus. Hal ini sejalan dengan empat pilar pendidikan UNESCO: learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 juga menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia beriman, bertakwa, cerdas, kreatif, dan berakhlak mulia. Prinsip ini sejak lama dipraktikkan Muhammadiyah, yang meyakini bahwa pembentukan karakter tidak cukup dengan teori, melainkan harus menjadi kebiasaan hidup.

Karena itu, semua pendidik di lembaga Muhammadiyah, apapun bidang ilmunya, memiliki tanggung jawab menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik. Dengan pendekatan integratif ini, pendidikan Muhammadiyah tidak hanya menyiapkan murid agar lulus ujian, melainkan membekali mereka menghadapi kehidupan nyata dengan iman, ilmu, dan akhlak yang kokoh.

Penutup

Perjalanan panjang Muhammadiyah membuktikan bahwa pendidikan adalah jalan utama kebangkitan umat. Melalui pemahaman ayat qauliyah dan kauniyah, integrasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan, serta pendidikan karakter yang aplikatif, Muhammadiyah telah berkontribusi besar bagi bangsa ini.

Gerakan tajdīd Muhammadiyah bukan hanya purifikasi ajaran, tetapi juga dinamika untuk menjawab tantangan zaman. Bagi Muhammadiyah, beragama tidak cukup hanya pada ranah akidah dan ibadah, tetapi juga harus hadir dalam ranah muamalah duniawi: ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya. Dengan semangat itu, pendidikan Muhammadiyah diharapkan terus melahirkan generasi yang berilmu, berakhlak, dan berdaya saing, sehingga Islam dapat berfungsi sebagai rahmat bagi semesta. (admin)