Nidhal Guessoum Menolak Pendekatan I’jaz Untuk Pembacaan Ilmiah al-Qur’an

1 March 2025, oleh: Editor

Al- Quran merupakan kitab suci umat Islam  yang diyakini sebagai panduan dan solusi untuk permasalahan kehidupan manusia. Dalam pandangan umat Islam, al-Qur’an adalah wahyu Ilahi yang diterima  Nabi Muhammad SAW melalui perantara  malaikat Jibril. Namun akhir-akhir ini mendapatkan perhatian lebih dari para akademisi. Isi kandungannya  kitab suci ini  jika dibahas tidak ada habisnya  karena mengandung isi pokok  yang lengkap dan kompleks seperti  akidah, ibadah, muamalah, sejarah, akhlak dan  hukum. Tidak hanya itu, pada saat ini juga berkembang  diskusi bahwa al-Quran memuat jawaban sains modern. Al-Qur’an diyakini lebih dahulu membawa informasi ilmiah dibandingkan penemuan para ilmuwan. Pernyataan ini kemudian  diklaim sebagai bagian  dari kemukjizatan al Qur’an, yang kemudian disebut sebagai teori I’jaz.

Menurut Ziauddin Sardar sikap kaum muslimin terhadap sains  modern terbagi menjadi tiga golongan yaitu (1) tradisional , yang memiliki pikiran bahwa sains merupakan jalan untuk sampai pada Tuhan. (2)  konvensional, sains merupakan hal yang netral, obyektif dan universal. (3) I’Jaz,  yang menekankan kandungan sains yang menakjubkan dalam al-Qur’an. Kelompok pertama dan ketiga memiliki misi yang sama yaitu ingin membawa sains kedalam peradaban Islam kontemporer. Kelompok tradisional menekankan segala ilmu pengetahuan haruslah dapat menjadi jalan untuk mencapai kesempurnaan iman kepada Allah SWT. Sedangkan kelompok I’jaz mendasarkan bahwa perkembangan sains modern telah dijelaskan dalam al-Qur’an sehingga  memunculkan cara pandang baru bahwa al-Qur’an  lebih dari cukup untuk menjadi landasan ilmu pengetahuan jika dibaca dan diteliti dari pada sains modern tersebut. Di sisi lain, kaum muslimin muncul kepercayaan  dan bangga terhadap agamanya serta mampu membuktikan  kemajuan  sains dalam al Qur’an.  Pendekatan ini dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi Barat yang telah dianggap mengungguli islam dalam berbagai bidang terutama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai hasilnya, pola  pembacaan sains dengan metode I’jaz al-Qur’an ini semakin meluas sehingga  banyak digunakan dalam bidang dakwah, karena pembaca awam lebih mudah percaya dan menerima segala informasi yang berhubungan dengan al- Qur’an.

Setelah adanya perkembangan yang pesat dari metode I’jaz di dunia Islam, Nidhal Guessoum bukannya mendukung tetapi sebaliknya justru mengkritik penggunaan pola tersebut. Menurutnya metode ini cacat secara metodologis sehingga cenderung berbahaya seperti bola salju yang awalnya kecil dan putih kemudian menggelinding membawa tumpukan kotoran. Nidhal Guessoum menunjukkan I’jaz al-Quran telah dielaborasi oleh beberapa tokoh muslim. Contohnya  Zahloul al-Najjar  yang memperkenalkan bahwa kemukjizatan al-Quran mendahului penemuan ilmiah serta membuat rincian pedoman-pedoman I’jaz yang berjumlah sepuluh prinsip (1) memahami teks al-Qur’an dengan baik sesuai kaidah bahasa Arab. (2) Mempertimbangkan ilmu-ilmu al Quran  yang relevan seperti asbabun nuzul  dan Hadist yang menjelaskan ayat-ayat tertentu. (3) Mengumpulkan berbagai ayat yang berkaitan dengan topik umum sebelum mencoba mengajukan penafsiran baru. (4) Menghindari penafsiran yang berlebih, tidak memutar balikkan beberapa ayat agar sesuai dengan hasil ilmiah. (5) Menjauh dari permasalahan yang ghaib. (6)  Seseorang memiliki kompetensi dalam bidang sains   ketika menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan topik. (7) Menjunjung tinggi kejujuran intelektual ketika berhadapan dengan  kalam ilahi. (8) Hanya menggunakan fakta-fakta ilmiah yang mapan, bukan teori dan dugaan yang tidak pasti, kecuali dalam ayat-ayat al-Qur’an dan pernyataan Nabi tetang penciptaan dan kemusnahan alam semesta serta tentang kehidupan manusia. (9) Membedakan antara tafsir ilmi dan I’Jaz ilmi. (10) Menghormati  usaha ulama sebelumnya dalam bidang ini. 

 Jika dilihat pedoman-pedoman I’jaz yang disusun oleh Zahloul al-Najjar begitu rinci dan jelas namun  Nidhal Guessoum menyayangkan  terkadang pedoman tersebut tidak aplikasikan. Kasus ini terjadi ketika  Zahloul al-Najjar menyajikan ayat-ayat kosmos dalam al-Quran kemudian memberikan berlembar-lembar informasi ilmiah yang dapat ditemukan dalam ensiklopedi manapun kemudian diakhir ulasannya menyatakan bahwa ini merupakan sebuah  keajaiban dan  ayat  al-Qur’an telah meramalkan fakta ilmiah tersebut.  Contohnya  surat at Takwir ayat 15-16 “ Aku bersumpah demi bintang-bintang, yang beredar dan terbenam”.  Ayat ini kemudian diberikan penjelasan sebanyak dua puluh halaman disertai dua puluh gambar kemudian disimpulkan ayat ini merujuk pada lubang hitam. Penggunaan I’jaz seperti contoh ini  menurut Nidhal Guessoum  sebagai bagian dari rasa kebingungan antara usaha yang sah untuk memadukan penafsiran teks dengan pengetahuan manusia yang baru diperoleh (penemuan dan  wawasan ilmiah modern) dan prinsip bahwa hasil ilmiah, hukum, penemuan dari yang paling umum hingga paling spesifik dan rahasia dapat ditemukan dalam al-Qur’an bahkan hadits. Namun, ini juga berpotensi menjadi berbahaya karena seseorang dapat melakukan penelitian ilmiah kemudian melakukan perbandingan  dengan pernyataan al-Qur’an untuk mengklaim bahwa sains salah atau perlu dikoreksi.

Sebagai solusi atas kelemahan dan kecacatan  I’jaz,  Nidhal Guessoum menawarkan pendekatan baru yang yang berpotensi menghapus semua kekurangan  dalam membaca al-Quran yang  disebut “pembacaan multilevel”. Pendekatan tersebut diusung  berdasarkan dua prinsip untuk merevisi teori I’jaz agar terhindar dari kesalahan. Adapun dua prinsip tersebut adalah (1) teks al-Qur’an memungkinkan pembacaan bertingkat. Prinsip ini penting untuk dunia muslim dan perkembangan agama Islam agar mampu meminimalisir monopoli  kebenaran  oleh pemimpin, ilmuwan ataupun lembaga pendidikan. (2) Sains dan filosofinya harus dipahami sepenuhnya sebelum seseorang mengajukan penafsiran  teks agama  yang mungkin memiliki hubungan  dengan sains.  Dalam hal ini seseorang harus mempelajari sains dengan baik, khususnya metodologi dan filosofinya  serta tidak menggunakan pemahaman yang dangkal.  Intinya al-Qur’an  memiliki pembacaan bertingkat, sehingga memungkinkan banyak makna yang berbeda  yang ditemukan tergantung pada pendidikan dan perkembangan zaman hidup seseorang sehingga ketika seseorang membaca beberapa fakta alam semesta dalam sebuah ayat kemudian tidak lantas mengklaim itu sebagai sebuah mukjizat.

Praktek pembacaan multiple (bertingkat) diberikan contoh oleh Nidhal Guessoum dalam menjelaskan mukjizat Nabi Isa yang mampu menyembuhkan orang buta dikaitkan dengan plasebo (yang berkaitan dengan pikiran). Mukjizat yang lain seperti yang ditunjukkan oleh Nabi Musa ketika membelah lautan dapat dijelaskan oleh kondisi meteorologi yang tiba tiba. Dua kasus ini bisa saja ada klaim efek plasebo dipicu oleh campur tangan Tuhan pada tingkat kuantum, sedangkan kondisi meteorologis  yang menyebabkan angin bertiup dengan kencang sehingga mampu memisahkan lautan, hal ini juga tidak bisa dipisahkan dari intervensi Tuhan pada tingkat mikroskopis. Ayat dalam al-Qur’an yang sering dikutip adalah tentang langit sebagai pelindung: “Dan Kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara, namun mereka tetap berpaling dari tanda-tanda (kebesaran Allah) itu (matahari, bulan, angin, awan, dan lain-lain)” (al Anbiya:32). Ayat ini dulu dipahami secara berbeda  sepanjang makna ayat-ayat Al-Qur’an, ada yang mengkaitkan dengan surat al-Jin ayat 8 dan as- Saffat ayat 7 bahwasannya langit  sebagai pelindung dari setan-setan yang hendak mencuri berita dari langit. Namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan hari ini banyak yang mengartikan langit  sebagai atmosfir, ozon, magnetosfer.

Penafsiran pembacaan bertingkat untuk al-Qur’an ini yang menurut Nidhal Guessoum  tepat dan tidak mengandur unsur I’jaz didalamnya. Mengambil prinsip-prinsip dan penerapan  serta contoh-contoh yang sudah dijelaskan sebagai dasar pendekatan seseorang tehadap al-Quran dan sains. Konsep ini  menjadi bukti nyata bahwa seseorang tidak dapat memaksakan pembacaan dan penjelasan atas ayat-ayat tertentu, apalagi menyatakan bahwa ayat tersebut sudah mengandungn kebenaran ilmiah. Tafsir ilmiah ayat-ayat al-Qur’an  bisa menjadi pembacaan terhadap teks yang telah diinformasikan dan dijelaskan dengan teori-teori sains oleh orang yang memiliki kompetensi dibidang sains. Metode ini merupakan penafsiran-penafsiran pribadi  yang lebih mampu menyakinkan sebagian orang.