Sinergi Sains Teknologi dan Islam: Peta Jalan Integrasi di Fakultas Teknik Sipil UMY Prof. Agus Setyo Muntohar, Ph.D.(Eng.)

26 July 2025, oleh: Editor

Integrasi sains teknologi dan Islam adalah upaya sadar untuk menyatukan wahyu, akal, dan pengalaman empiris agar pengetahuan bermanfaat luas serta berakar pada nilai. Di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), gagasan ini tumbuh dari dialog panjang para dosen sejak akhir 1990-an dan terus disempurnakan lewat buku, kuliah, dan forum ilmiah. Intinya sederhana, ilmu tidak berdiri di ruang hampa ia memerlukan kompas nilai agar riset, pembelajaran, dan layanan sosial bermuara pada kemaslahatan.

Jejak Integrasi di UMY
Sejak 1999, para dosen muda UMY membahas Islamisasi pengetahuan dari diskusi internal hingga penerbitan sejumlah buku bertema integrasi. Program kuliah dan forum bersama kampus-kampus rujukan (seperti IIUM/ISTAC) memperkaya cara berpikir dosen tentang bagaimana wahyu (naqli) dan ilmu modern (‘aqli) bisa berjalan saling menguatkan. Langkah-langkah ini menegaskan bahwa integrasi di UMY tidak dimulai dari nol, melainkan berkembang dari pengalaman yang berkesinambungan.

Perdebatan tentang “sains itu netral atau tidak” sampai sekarang masih berlangsung. Di satu sisi, ada pandangan bahwa sains bebas nilai. Cara pandang ini tidak berarti semua pembahasan harus dimulai dengan kutipan ayat. Namun yang lebih penting adalah memastikan arah dan batas etik penelitian selaras dengan nilai, sembari tetap setia pada metode ilmiah. Perspektif ini juga mendorong keberanian melakukan penelitian misalnya mengkaji fenomena alam di luar bumi, sebagai wujud kesadaran bahwa ayat-ayat “semesta” amat luas untuk dieksplorasi.

Agar integrasi tidak berhenti pada diskusi saja, UMY merumuskan peta jalan praktis:

  1. Kajian tematik Al-Qur’an, menghimpun dan mengindeks ayat-ayat sesuai tema (kosmologi, kehidupan sosial, tata ruang) agar dosen atau peneliti memiliki pijakan rujukan yang tepat.
  2. Kaidah umum, dari hasil kajian tematik diekstrak menjadi prinsip-prinsip yang umum (keadilan, kemaslahatan, keseimbangan) yang bisa menuntun pengembangan teori atau praktik di berbagai bidang.
  3. Hubungan konseptual, memetakan keterkaitan antartema atau ayat agar lahir pemahaman yang utuh. Misalnya relasi antara pengelolaan sumber daya, lingkungan, dan keadilan sosial.
  4. Kerangka paradigma, menyusun kerangka evaluasi paradigma sains yang memadukan nilai spiritual dengan metode ilmiah.
  5. Rekonstruksi paradigma, jika ada bagian dari paradigma sains modern yang tidak selaras dengan kerangka nilai- nilai Islam, dilakukan telaah ulang dan rekonstruksi.
  6. Produk ilmu, dari proses di atas diharapkan lahir pengetahuan teknologi, tata nilai, dan profil manusia berkarakter yang saling mengisi dan menjawab kebutuhan nyata masyarakat.

Integrasi Islam dan Sains Teknologi
Ilmu adalah produk peradaban lintas budaya, tradisi keilmuan Islam pada abad pertengahan menyerap dan mengolah warisan Persia, India, dan Yunani. Karena itu, integrasi sains teknologi dan Islam bukan soal memberi label, melainkan menyelaraskan kompas nilai dengan ketelitian metode. Kuncinya adalah filsafat ilmu yang perlu diajarkan sejak dini agar mahasiswa dan dosen (terutama pengampu metodologi) memahami hakikat pengetahuan, batas metode, asumsi kerja, serta konsekuensi moralnya. Tak heran para ilmuwan Muslim klasik seperti Ibn Sīnā, al-Kindī, dan al-Rāzī juga dikenal sebagai filsuf.
Integrasi yang sehat melahirkan tiga keluaran yang saling mengisi yaitu pertama pengetahuan (metode, teori, teknologi), kedua nilai (apa yang adil, aman, maslahat), dan ketiga manusia (subjek sekaligus tujuan). Agar terhubung dengan realitas, kajian dunia dan kehidupan perlu menautkan tiga tanya pokok yaitu apa bagaimana (sains), kedua mengapa (nilai), dan ketiga untuk siapa (manusia). Dengan begitu, praktik sains dan teknologi tetap sahih secara ilmiah, beradab dalam etika, dan bermuara pada peradaban yang lebih bermartabat.

Contoh Implementasi di Teknik Sipil UMY
Bahasa Arab membantu mahasiswa dan pengajar untuk membaca sumber primer (Al-Qur’an dan literatur klasik) secara lebih akurat. Karena itu, penguatan literasi Arab dapat dipertimbangkan dalam kurikulum sebagai alternatif yang fleksibel berdampingan dengan bahasa asing lain. Di sisi lain, filsafat ilmu memberi fondasi berpikir kritis untuk memahami batas-batas metode, menata asumsi, dan menyadari dimensi etik dari riset. Penguatan dua aspek ini membuat integrasi lebih mendalam dan tidak berhenti pada istilah.
Pembelajaran berdasarkan nilai Islam merupakan ciri khas Teknik sipil UMY yang membedakan dengan yang lainnya. Pendidikan keislaman disajikan pada pembelajaran misalnya kegiatan belajar dibuka dengan tilawah/doa serta pedoman hidup Islami warga kampus menjadi rujukan perilaku. Pada tingkat karya ilmiah, dosen menautkan tema buku dengan ayat yang relevan guna mendorong lahirnya “indeks ayat” untuk memudahkan integrasi keilmuan.

Nilai-Nilai Islam pada Teknik Sipil UMY
Di Program Studi Teknik Sipil UMY, nilai-nilai Islam tidak sekadar menjadi slogan, melainkan dihidupkan dalam kurikulum dan keseharian akademik. Pendidikan keislaman diberikan berjenjang selama empat semester dan diperkuat melalui Kajian Islam Intensif. Nilai-nilai seperti amanah dan tanggung jawab, kebersamaan, kejujuran, kedisiplinan, keadilan, ketulusan, mawas diri, kepedulian, dan profesionalisme diinternalisasikan dalam semua aktivitas pembelajaran, dengan rujukan pedoman hidup Islami warga kampus UMY. Ketika proses akreditasi pernah mempertanyakan “mengapa mata kuliah keislaman cukup banyak di Teknik Sipil,” jawabannya tegas: inilah identitas prodi yang ingin melahirkan insinyur berkemajuan (tajdīd) yang unggul secara teknis sekaligus beradab; karena itu, porsi AIK tidak dapat dihapus.

Penerjemahan nilai-nilai Islam juga tampak pada praktik akademik. Muntohar, salah satu dosen secara konsisten membuka buku-bukunya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan dengan tema rekayasa, lalu mengembangkan ide “indeks ayat” untuk memudahkan integrasi antara ilmu teknik dan sumber rujukan keagamaan. Pengalaman beliau saat menempuh doktoral di Malaysia juga menegaskan kebijaksanan ilmiah: dalam diskusi mata kuliah landslide, seorang profesor bertanya, “Siapa yang tahu persis longsor akan terjadi di titik ini?” Beragam jawaban berbasis teori pun muncul (geologi, curah hujan, kemiringan lereng, aktivitas manusia), hingga akhirnya Muntohar mengatakan, “Hanya Tuhan yang benar-benar mengetahui.” Sang profesor mengiyakan: seakurat apa pun model, ketidakpastian selalu ada. Pelajaran pentingnya: ilmuwan muslim menggabungkan ketelitian metode dengan kesadaran batas pengetahuan, lalu mengomunikasikan risiko kepada publik secara jujur dan beradab.

Singkatnya, insinyur muslim yang ingin dibentuk Teknik Sipil UMY adalah sosok ilmuwan yang Sholeh yang cakap teori, beradab dan mampu memberikan kemaslahatan bagi masyarakat dengan ilmunya. Dengan cara ini, nilai-nilai Islam hidup sebagai kompas moral, bukan label tambahan di luar ruang kelas. (admin)